Periskop. id - Lahir di Tapanuli, Sumatera Utara pada 28 Januari 1920, Tahi Bonar Simatupang atau yang akrab disapa “Pak Sim”, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Indonesia. Seorang jenderal dengan pemikiran tajam, ia bukan hanya mengabdikan diri di medan perang, tetapi juga menjadi guru bangsa dan pemikir yang menginspirasi dalam ranah teologi dan etika sosial. Kisah hidupnya, yang berakhir pada Januari 1990, adalah cerminan dari dedikasi total pada negara dan iman.
Informasi ini bersumber dari artikel berjudul “In Memoriam: TB Simatupang, 1920-1990,” yang ditulis oleh Frank L. Cooley, seorang antropolog, misionaris, dan penulis asal Amerika Serikat. Cooley banyak mendokumentasikan peran tokoh-tokoh Kristen Indonesia, termasuk Simatupang, dalam kehidupan sosial-politik dan pemikiran gereja pasca-kemerdekaan.
Perjalanan dari Taruna Terbaik Hingga Pemikir TNI
Sejak muda, TB Simatupang telah menunjukkan kecerdasan dan nasionalisme yang kuat. Motivasinya masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda pada tahun 1940 adalah untuk membuktikan bahwa orang Indonesia mampu membangun angkatan bersenjata modern. Visi dan kecerdasannya mengantarkannya menjadi "Crown Cadet" atau lulusan terbaik akademi, sebuah prestasi langka bagi seorang pribumi.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ia segera bergabung dengan embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Yogyakarta. Di bawah kepemimpinan Jenderal Urip Sumoharjo dan kemudian Panglima Besar Jenderal Sudirman, Simatupang menjadi pemikir strategis di markas besar. Ia berperan penting dalam merumuskan strategi, kebijakan, dan diplomasi untuk membangun angkatan bersenjata yang tangguh di tengah perjuangan melawan Belanda dan pemberontakan domestik, seperti Pemberontakan Komunis Madiun (1948).
Dalam perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, ia menjabat sebagai wakil ketua dan penasihat militer delegasi Indonesia. Dari 1950 hingga 1953, ia bahkan memimpin Dewan Kepala Staf Gabungan, menghadapi tantangan besar untuk menempatkan TNI dalam dinamika negara baru yang rawan konflik politik. Namun, karier militernya berakhir secara prematur setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, yang memicu benturan antara pimpinan TNI dan Presiden Soekarno. Meskipun pensiun pada usia 39 tahun, ia terus berkontribusi dengan mengembangkan doktrin dan mengajar di Seskoad.
Karier Kedua: Dari Jenderal Menjadi Teolog Awam
Masa pensiun dini menjadi titik balik dalam hidup Simatupang. Ia "dipaksa" keadaan untuk menyelami teologi, sebuah bidang yang membantunya melihat masalah kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan dari perspektif iman Kristen. Visi ini menjadi landasan bagi karier keduanya sebagai teolog awam dan aktivis ekumenis.
Selama tiga dekade berikutnya, ia mendedikasikan pikiran dan tenaganya untuk persatuan dan kesehatan gereja-gereja serta pelayanan mereka kepada masyarakat Indonesia. Ia memimpin Badan Pengurus “Pusat Pembangunan” di bawah Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang menginisiasi berbagai program pembangunan di banyak daerah.
Di tingkat internasional, kiprahnya tak kalah cemerlang. Ia aktif di Christian Conference of Asia (CCA) dan World Council of Churches (WCC), di mana ia bahkan terpilih menjadi salah satu presiden WCC dari 1975 hingga 1983.
Kontribusi Abadi untuk Bangsa
Meskipun fokusnya bergeser, Simatupang tidak pernah meninggalkan komitmennya pada TNI dan negara. Ia tetap aktif memberi nasihat melalui tulisan di media, memo pribadi kepada pejabat, serta keanggotaannya di Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1970-an.
TB Simatupang juga menjadi juru bicara utama komunitas Kristen dalam isu relasi antar-umat beragama. Ia berani menegaskan pentingnya toleransi dan memulai dialog lintas agama. Selain itu, ia adalah pengusung terdepan Pancasila di kalangan umat Kristen, menantang mereka untuk memahami dan mengimplementasikannya sebagai fondasi berbangsa dan bernegara.
Cooley, dalam kenangannya, menyebut Pak Sim sebagai "seorang demokrat" dan "seorang realis Kristen". Ia adalah sosok langka yang mampu berdiskusi dan berdebat keras tentang gagasan tanpa memaksakan pendapatnya. Melalui pemikiran dan dedikasinya, TB Simatupang telah meninggalkan warisan abadi: seorang pejuang yang tidak hanya unggul di medan perang, tetapi juga dalam perjuangan intelektual, kebangsaan, dan keimanan.
Tinggalkan Komentar
Komentar