periskop.id - Pernah kepikiran nggak, gimana nasib foto, lagu, atau video yang diunggah kalau si pemiliknya sudah tiada?
Karya itu tetap ada, tetap ditonton, bahkan bisa tetap menghasilkan uang. Tapi pertanyaannya, siapa yang sebenarnya berhak mengatur semua itu?

Selamat datang di dunia yang disebut digital afterlife, tempat di mana karya bisa hidup lebih lama dari penciptanya.

Warisan Digital: Nggak Sekadar Akun dan File

Sekarang, aset berharga bukan cuma rumah atau mobil. Banyak orang punya harta digital, seperti akun media sosial, video, e-book, karya musik, hingga NFT.
Nah, semua itu disebut ‘warisan digital’ aset tak berwujud yang tetap eksis setelah pemiliknya meninggal.

Menurut penelitian yang terbit pada 2021 berjudul “From Personal Data to Digital Legacy: Exploring Conflicts in the Sharing, Security and Privacy of Post-mortem Data”, kebanyakan orang sadar pentingnya merencanakan warisan digital, tapi jarang benar-benar melakukannya.

Singkatnya, banyak yang tahu pentingnya, tapi menunda karena dianggap ‘nanti aja’. Padahal, dunia digital tak pernah tidur. Data terus hidup, akun terus aktif, dan karya terus berputar.

Nah, di sinilah masalah mulai terasa, saat hukum belum sepenuhnya siap menghadapi era warisan digital.

Ketika Hukum Belum Sepenuhnya Siap

Secara hukum, hak cipta memang bisa diwariskan kepada ahli waris. Tapi begitu menyentuh ranah digital, semuanya jadi abu-abu.
Aturan soal kepemilikan akun, akses data, dan hak monetisasi di platform seperti YouTube atau Instagram masih belum jelas.

Penelitian berjudul “Post-mortem Privacy and Digital Legacy – A Qualitative Enquiry” dari University of Edinburgh pada 2024 menyebut bahwa masih ada ‘kebingungan besar’ di kalangan pengguna, platform, dan regulator soal hak digital setelah kematian.  Bahkan praktisi hukum pun belum punya panduan pasti untuk kasus seperti ini.

Kalau aturan hukum masih bingung, bagaimana nasib karya yang terlanjur hidup di dunia maya?

Mungkin jawabannya ada di keseharian kita, di mana algoritma dan kebijakan platform sering lebih cepat bertindak daripada hukum itu sendiri.

Realitas di Platform: Dari YouTube Sampai Spotify

Bayangkan seorang kreator meninggal dunia. Akunnya masih aktif, video tetap ditonton, tapi tidak ada yang bisa login.
Sebagian platform hanya memberi opsi ‘memorialisasi’ atau ‘hapus akun’ bukan transfer penuh ke keluarga atau pengelola.

Hal ini sejalan dengan temuan penelitian “Digital Assets in the Perspective of Indonesian Inheritance Law: The Need for Norm Reformulation in the Cyber Era” pada 2025 yang menegaskan bahwa hukum Indonesia belum memiliki regulasi jelas tentang pewarisan aset digital, termasuk akun YouTube, Spotify, atau media sosial. Akibatnya, meski karya bisa diwariskan secara hukum, secara teknis belum tentu bisa diakses.

Karya itu sah milik kita, tapi aksesnya dikendalikan sistem algoritma dan kebijakan platform.

​​Kalau sudah begini, satu-satunya cara adalah bersiap dari sekarang.

Langkah Kecil yang Bisa Dilakukan

Biar nggak bingung di kemudian hari, beberapa langkah sederhana bisa dilakukan sejak sekarang:

  • Catat semua akun digital dan karya penting di satu tempat aman.
  • Pilih satu orang terpercaya untuk mengelola aset digital bila sewaktu-waktu dibutuhkan.
  • Masukkan aset digital ke dalam surat wasiat resmi.
  • Simpan kontrak atau bukti pendapatan digital agar mudah dilacak.

Langkah kecil, tapi bisa jadi pelindung besar di masa depan.

Pentingnya Isu Ini untuk Dunia Kreatif Indonesia

Indonesia punya jutaan kreator, mulai dari musisi, penulis, fotografer, desainer, dan konten kreator.
Sayangnya, sebagian besar belum memikirkan masa depan karya digitalnya.

Tanpa aturan jelas, karya bisa hilang, tidak terurus, atau bahkan diklaim pihak lain.
Karena itu, wacana tentang digital legacy penting untuk mulai dibahas dalam industri kreatif Indonesia, bukan hanya dari sisi moral, tapi juga ekonomi dan budaya.