periskop.id - NEXT Indonesia Center merilis riset terbaru yang mengungkap bahwa praktik impor pakaian bekas (thrifting) ilegal berpotensi menghilangkan pendapatan negara hingga Rp7,1 triliun. Angka kerugian fantastis tersebut diakumulasi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yakni periode 2005–2024.
Atas temuan itu, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, mendesak pemerintah segera merealisasikan rencana memburu importir ilegal. Menurutnya, praktik ini merugikan negara dan masyarakat.
“Masuknya barang bekas tanpa izin itu tidak hanya menimbulkan hilangnya potensi pendapatan negara, tetapi juga merugikan produsen kecil di Tanah Air dan kesehatan masyarakat,” kata Christiantoko dalam keterangannya, Rabu (30/10).
Christiantoko memaparkan setidaknya ada lima ancaman serius dari masuknya pakaian bekas ilegal. Selain hilangnya potensi bea masuk, ancaman besarnya adalah tekanan terhadap industri domestik, terutama sektor garmen UMKM.
“Dari sisi produsen, yang langsung terdampak terutama usaha kecil di sektor garmen, karena kalah bersaing dengan barang ilegal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa impor ilegal ini adalah pelanggaran hukum yang mesti ditindak oleh Aparat Penegak Hukum (APH), serta memiliki risiko kesehatan bagi konsumen.
Riset Ungkap Kejanggalan Data Rp7,1 Triliun
Christiantoko menjelaskan, temuan kerugian negara itu didapat dari adanya potensi kejahatan berupa manipulasi faktur kepabeanan (misinvoicing) atau under-invoicing.
“Ini mirip dengan kejahatan global, dengan cara memanipulasi faktur kepabeanan. Catatan impor di Indonesia lebih kecil ketimbang catatan ekspor dari negara mitra,” ungkapnya.
Riset NEXT Indonesia Center menemukan adanya perbedaan pencatatan kepabeanan sekitar US$591 juta untuk impor pakaian bekas (Kode HS 6309) selama 20 tahun terakhir.
Jika dikonversi ke rupiah (rata-rata kurs tengah BI periode tersebut Rp12.049 per dolar AS), nilainya setara Rp7,1 triliun. Nilai transaksi inilah yang berpotensi hilang dari perhitungan bea masuk.
Christiantoko membeberkan, sepanjang dua dekade itu, kepabeanan Indonesia hanya mencatat nilai impor pakaian bekas US$16,4 juta. Padahal, catatan negara mitra justru mencatat ekspor ke Indonesia senilai US$607,4 juta.
“Perbedaan pencatatan ini sebenarnya bisa bermakna dua hal. Ada manipulasi faktur atau misinvoicing atau memang barangnya masuk secara ilegal. Namun yang jelas, penerimaan negara mengalami kerugian,” ungkap dia.
Kejanggalan data juga terlihat dari negara eksportir. Menurut data UN Comtrade, Malaysia dan Tiongkok adalah eksportir utama pakaian bekas ke Indonesia. Anehnya, kedua negara itu tidak masuk dalam 10 besar data resmi Indonesia.
“Informasi itu mengisyaratkan adanya data dari negara-negara eksportir pakaian bekas ke Indonesia yang tidak tercatat secara resmi oleh kepabeanan kita,” tuturnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar