Periskop.id - Tren job hugging, di mana pekerja cenderung bertahan di posisi mereka saat ini meskipun tidak merasa bahagia, kini menjadi fenomena yang marak di tengah ketidakpastian ekonomi global. Istilah ini, yang berarti "tetap menempel pada pekerjaan," menunjukkan pergeseran perilaku dari job hopping (berganti-ganti pekerjaan) yang sebelumnya populer, terutama di kalangan Generasi Z (Gen Z).

The Wall Street Journal melaporkan bahwa job hugging terjadi karena ketidakpastian ekonomi yang membuat semakin banyak orang memilih bertahan. Hal ini berbanding terbalik dengan tren job hopping yang muncul sebagai solusi untuk mendapatkan upah dan kualitas work-life yang lebih baik.

Maraknya gelombang PHK, pertumbuhan teknologi, dan kenaikan gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup menjadi faktor utama mengapa banyak pekerja, khususnya generasi muda, memilih untuk tetap berada di posisi mereka.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dari Januari hingga Agustus 2025 tercatat mencapai 44.333 orang. Meskipun angka ini sedikit lebih rendah dari periode yang sama tahun 2024 (46.240 orang), jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023 (sebesar 37.375). Fenomena ini membuat banyak pekerja merasa enggan mengambil risiko mencari peluang baru yang belum pasti.

Di Amerika Serikat, survei dari platform pencari kerja ZipRecruiter menunjukkan bahwa 38% pencari kerja pada kuartal kedua 2025 "sama sekali tidak yakin" bahwa "banyak lowongan" tersedia, naik dari 26% tiga tahun sebelumnya. 

Laura Ullrich, direktur riset ekonomi di Indeed Hiring Lab, menyebutkan bahwa job hugging memiliki risiko, seperti stagnasi pendapatan dan kurangnya pembelajaran keterampilan baru.

"Salah satunya, mereka mungkin mengorbankan kenaikan pendapatan, karena pekerja yang pindah kerja umumnya menikmati pertumbuhan upah lebih tinggi daripada yang tetap di peran saat ini,” ujar Ullrich kepada CNBC pada Senin (18/8).

Ullrich juga menambahkan bahwa minimnya pergerakan di pasar kerja dapat mempersulit lulusan baru untuk mendapatkan pekerjaan, karena peluang internal lebih banyak diisi oleh pekerja yang bertahan.

Seorang pebisnis dan investor asal Amerika Serikat, Kim Perell, memberikan saran sederhana untuk menghadapi kondisi ini. 

"Setelah tiga tahun bekerja di satu tempat, jika kamu tidak earning (menghasilkan lebih) dan tidak learning (belajar hal baru), kamu harus berubah," sarannya, dilansir dari Entrepreneur, Senin (18/8).