periskop.id - Gelombang kritik terhadap besarnya tunjangan perumahan anggota DPRD Jawa Barat terus menguat. Publik menilai angka yang mencapai Rp62 juta hingga Rp71 juta per bulan itu terlalu tinggi, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit bagi banyak warga. 

Mengutip berbagai sumber, sorotan datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, hingga warganet yang ramai membicarakannya di media sosial.

Isu ini mencuat setelah data APBD Jawa Barat 2025 menunjukkan alokasi tunjangan perumahan mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Berdasarkan aturan, tunjangan diberikan kepada anggota DPRD yang tidak mendapatkan rumah dinas, dengan besaran berbeda untuk anggota, wakil ketua, dan ketua dewan. Namun, publik mempertanyakan urgensi dan kelayakan nominal tersebut.

Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, mengakui bahwa tunjangan perumahan memang menjadi komponen terbesar dalam penerimaan bulanan anggota dewan. Ia menegaskan, pihaknya siap jika tunjangan itu dievaluasi. 

“Kami siap tunjangan perumahan yang selama ini kami terima untuk dievaluasi. Karena ini bagian dari APBD, evaluasinya nanti oleh Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.

Iswara juga meluruskan persepsi publik soal angka fantastis tersebut. Menurutnya, jumlah yang diterima jauh berkurang setelah dipotong pajak progresif 30% dan kewajiban lain. 

“Dari Rp65 juta untuk wakil ketua, yang kami terima bersih hanya sekitar Rp44 juta,” jelasnya. 

Ia bahkan menunjukkan slip gaji yang memperlihatkan take home pay bulanannya hanya sekitar Rp16 juta setelah potongan cicilan dan iuran fraksi.

Alasan pemberian tunjangan ini, kata Iswara, karena anggota DPRD wajib berkedudukan di ibu kota provinsi, sementara tidak ada fasilitas rumah dinas. Banyak anggota dewan, lanjutnya, justru harus berutang ke bank untuk membeli atau menyewa tempat tinggal di Bandung. 

“Cicilan saya pribadi mencapai Rp44 juta per bulan,” ungkapnya.

Sementara itu, beberapa pimpinan fraksi memilih irit bicara. Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKS, Iwan Suryawan, hanya merujuk pada PP Nomor 18 Tahun 2017 yang menjadi dasar hukum tunjangan tersebut. Ketua Fraksi PPP, Zaini Shofari, menyatakan pihaknya akan mengikuti keputusan pimpinan dewan.

Dari luar gedung dewan, kritik datang deras. Wakil Ketua BEM Kema Unpad, Ezra Al Barra, menyebut tunjangan perumahan sebesar itu sebagai bentuk ketidakpekaan. 

“Di tengah kesulitan ekonomi rakyat, angka Rp70 juta per bulan untuk perumahan adalah ironi. Dana sebesar itu akan jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk kepentingan publik,” ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Parahyangan, Dedi Gunawan, menilai polemik ini menunjukkan lemahnya sensitivitas politik terhadap persepsi publik. Menurutnya, meski tunjangan itu legal secara aturan, DPRD seharusnya proaktif menyesuaikan kebijakan dengan kondisi sosial. 

“Legitimasi hukum tidak selalu sejalan dengan legitimasi moral. Jika publik merasa ini berlebihan, DPRD perlu merespons dengan langkah konkret,” katanya.

Dedi juga mengingatkan bahwa isu seperti ini bisa menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif daerah. 

“Transparansi dan kesediaan untuk memangkas tunjangan akan menjadi sinyal positif bahwa DPRD berpihak pada rakyat,” tambahnya.

Saat ini, APBD Perubahan Jawa Barat 2025 sedang dievaluasi Kemendagri. Momentum ini, menurut Iswara, menjadi waktu yang tepat untuk meninjau kembali besaran tunjangan perumahan. 

“Kalau memang dianggap tidak patut dan mencederai perasaan masyarakat, kami siap dievaluasi,” tegasnya.

Polemik tunjangan DPRD Jawa Barat ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Publik menunggu apakah evaluasi yang dijanjikan akan menghasilkan perubahan signifikan, atau sekadar menjadi wacana yang menguap begitu saja.