periskop.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas dua kasus dugaan bunuh diri yang melibatkan pelajar di Sawahlunto, Sumatera Barat, dan Sukabumi, Jawa Barat. 

Komisioner KPAI, Dr. Aris Adi Leksono, menilai peristiwa tragis ini menjadi alarm serius yang menuntut penguatan sistem deteksi dini masalah psikologis di lingkungan pendidikan dan keluarga.

“KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system (sistem deteksi dini) yang efektif di sekolah dan komunitas. Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal,” kata Aris Adi Leksono, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (31/10).

Aris menekankan bahwa setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup adalah cerminan dari sistem deteksi dini yang belum optimal di tingkat sekolah maupun keluarga. Oleh karena itu, KPAI mendorong pemerintah daerah dan sekolah untuk mengintegrasikan sistem deteksi dini ini ke dalam ekosistem pendidikan melalui beberapa langkah strategis.

Langkah pertama adalah penguatan fungsi guru, terutama guru Bimbingan Konseling (BK). “Langkah ini membuat agar lebih proaktif memantau kondisi sosial-emosional siswa,” tutur Aris.

Kedua, KPAI mendorong pelatihan intensif bagi guru dan siswa sebaya (peer counselor) agar mampu mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri. Ketiga, perlu adanya koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait saat ditemukan anak dengan risiko tinggi.

“Keempat, pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal gangguan kesejahteraan mental,” ujar Aris.

Selain sistem deteksi dini, KPAI juga menyoroti pentingnya Dukungan Psikologis Awal (Early Psychological Support System) yang cepat dan penuh empati sebagai kunci pencegahan lanjutan. Dukungan tersebut dapat diwujudkan melalui pendampingan segera oleh psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental puskesmas.

Dalam konteks keluarga, Aris mengimbau agar orang tua meningkatkan interaksi emosional dan waktu berkualitas dengan anak.

“Orang tua juga harus memastikan anak tidak terpapar konten negatif di media sosial yang dapat memicu rasa rendah diri atau imitasi tindakan berbahaya,” ujarnya.

Sebagai respons langsung terhadap kasus di Sawahlunto dan Sukabumi, KPAI telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. KPAI juga mendorong penguatan layanan aduan daring agar anak dan remaja memiliki akses aman untuk berkonsultasi tanpa stigma, serta mendorong integrasi early warning system ke dalam kebijakan pendidikan nasional dan daerah.

“Kita perlu hadir dan mendengarkan anak-anak kita. Satu percakapan penuh empati dapat menyelamatkan nyawa dan harapan masa depan mereka,” tutup Aris.