periskop.id - Di pedalaman Afrika sub-Sahara, gigitan ular berbisa masih menjadi momok mematikan. Setiap tahun, lebih dari 300.000 kasus gigitan ular berbisa dilaporkan, dengan korban meninggal mencapai 7.000 orang dan hingga 14.000 kasus amputasi. Angka ini mencerminkan betapa mendesaknya kebutuhan akan antivenom yang efektif dan terjangkau.

Selama ini, antivenom diproduksi dari plasma darah hewan seperti kuda. Prosesnya mahal, sulit distandardisasi, dan sering kali hanya efektif untuk jenis ular tertentu. Akibatnya, banyak korban di daerah terpencil tidak mendapatkan penanganan tepat waktu.

Mengutip Popsci, sebuah terobosan datang dari penelitian internasional yang dipublikasikan di jurnal Nature. Tim ilmuwan menemukan bahwa llama dan alpaka menghasilkan antibodi unik yang disebut heavy-chain-only antibodies. Antibodi ini bisa direkayasa menjadi nanobody (VHHs), protein kecil yang mampu menetralkan racun ular dengan cepat.

“Famili (ular) Elipidae adalah yang paling mematikan karena racunnya mengandung neurotoksin kuat yang bekerja cepat menyebabkan kelumpuhan dan gagal napas,” jelas Anne Ljungars, insinyur biologi dari Technical University of Denmark (DTU) yang terlibat dalam studi ini.

Elapidae adalah keluarga ular berbisa yang mencakup kobra, mamba, hingga ular rinkhals. Meski jumlah spesiesnya hanya sekitar 360 dari 4.000 jenis ular di dunia, mereka termasuk yang paling berbahaya. 

Bayangkan seekor black mamba dewasa bahkan bisa tumbuh hingga 3 meter dengan produksi racun yang sangat besar di mana mereka bisa menyuntukkan bisa hingga 300 mg.

Untuk menguji hipotesis mereka, para peneliti mengimunisasi llama dan alpaka dengan racun dari 18 spesies ular Afrika. Dari sampel darahnya, mereka membangun phage display libraries, semacam “perpustakaan protein” untuk mencari nanobody yang mampu menetralkan racun secara luas.

Nanobody ini memiliki keunggulan: ukurannya kecil sehingga bisa menembus jaringan dengan cepat, stabil pada suhu tinggi, murah diproduksi, dan memiliki risiko rendah menimbulkan reaksi imun. “Nanobody bisa diberikan bahkan sebelum gejala muncul, berbeda dengan antivenom konvensional yang berisiko menimbulkan reaksi berbahaya,” tambah Ljungars.

Hasil uji laboratorium pada tikus menunjukkan nanobody mampu mencegah kematian akibat racun dari 17 dari 18 spesies ular yang diuji. Bahkan, nanobody ini lebih efektif dibandingkan antivenom komersial Inoserp PAN-AFRICA dalam mencegah nekrosis dan kematian.

Namun, ada catatan penting: nanobody hanya sebagian efektif terhadap racun green mamba dan black mamba. Meski begitu, para peneliti optimistis terapi ini bisa dikembangkan lebih lanjut melalui uji klinis manusia.

“Masalah terbesar bukan pada kompleksitas racun ular, tapi bagaimana meyakinkan pihak yang tepat untuk berinvestasi,” kata Andreas Hougaard Laustsen-Kiel, pakar antibodi dari DTU. 

Ia menekankan bahwa pasar antivenom sering dianggap tidak menguntungkan karena mayoritas korban berasal dari daerah miskin dengan akses kesehatan terbatas.

Menurut data WHO, gigitan ular berbisa termasuk dalam kategori Neglected Tropical Diseases (NTDs). Setiap tahun, lebih dari 5,4 juta orang di dunia digigit ular, dengan 2,7 juta di antaranya mengalami envenomasi (tergigit) serius. WHO menargetkan penurunan angka kematian akibat gigitan ular hingga 50% pada tahun 2030.

Jika nanobody dari llama dan alpaka ini berhasil dikembangkan, maka dunia akan memiliki antivenom yang lebih murah, tahan lama, dan bisa diproduksi massal. Hal ini sangat penting bagi negara-negara berkembang di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, yang juga memiliki populasi ular berbisa tinggi.

Penemuan ini bukan hanya soal sains, tapi juga soal keadilan kesehatan global. Dengan teknologi nanobody, ada harapan bahwa korban gigitan ular di desa-desa terpencil tidak lagi harus menunggu antivenom yang mahal dan langka.