periskop.id - Kuasa Hukum Menteri Pertanian sekaligus Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian, Edy Purnomo, menegaskan bahwa pendapat pihaknya dalam persidangan terkait gugatan Amran Sulaiman terhadap pemberitaan Tempo tidak diindahkan oleh majelis hakim.
Dalam jalannya persidangan, sejumlah pertanyaan dari pihak Amran disanggah oleh hakim maupun kuasa hukum Tempo. Bahkan, Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang diajukan juga tidak mendapat pertimbangan hukum.
“Ini negara hukum, kita juga sama-sama mencari keadilan supaya ada kejelasan bagaimana PPR yang sudah dibuat bagus. Menurut pendapat kami, itu tidak diindahkan,” ujar Edy usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11).
Mengenai PPR, Edy menilai Dewan Pers tidak memberikan kepastian. Ia menyebut lembaga tersebut hanya menjawab dengan kalimat singkat, “As soon as possible.”
“Coba bayangkan kalau tanggal 6 Juni 2025, kalau tidak salah, PPR dilaporkan. Sampai sekarang kok tidak ada pernyataan, kita kan tidak tahu. Maka itu, dan tadi juga tidak menghalangi hak untuk kita melakukan keperdataan,” jelas Edy.
Meski demikian, Edy enggan membahas lebih jauh mengenai jalannya persidangan. Ia menegaskan akan berbicara lebih banyak apabila proses hukum ini berlanjut ke tahap berikutnya.
“Tanggal 17 November akan diputus apakah ini running untuk pembuktian selanjutnya ataukah memang pengadilan negeri tidak melanjutkannya. Saya akan bicara pada tahapan proses pengadilan. Kita hari ini baru untuk keputusan selanjutnya. Jadi situ dulu, nanti soal yang lain-lain kami sampaikan pas nanti sidang selanjutnya,” tambahnya.
Sebelumnya, PT Tempo Inti Media Tbk. digugat oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman terkait pemberitaan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk.” Dalam gugatan tersebut, pihak Amran menuntut ganti rugi sebesar Rp200 miliar.
Gugatan itu resmi dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Amran menilai pemberitaan Tempo telah merugikan dirinya secara pribadi maupun institusional.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik sekaligus Direktur Pusat Riset Politik Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, menilai langkah hukum yang ditempuh Amran justru berlebihan.
“Saya kira seorang pejabat harus mau dikritik, kalau tidak mau dikritik tidak usah jadi pejabat,” kata Saiful Anam kepada Periskop, Selasa (4/11).
Menurut Saiful, sebagai pejabat tinggi negara, Amran seharusnya membuka ruang bagi kritik publik.
“Tidak kemudian justru melakukan gugatan ke pengadilan. Jika merasa tidak benar cukup klarifikasi, tidak perlu melakukan langkah hukum ke pengadilan,” ucapnya.
Saiful menambahkan, tindakan Amran terlalu reaksionis dan berpotensi membatasi ruang publik dalam menyampaikan kritik.
“Jika dengan gugatan, maka sangat mungkin publik akan menilai Amran mengancam kebebasan pers bahkan melakukan tekanan terhadap pers,” tuturnya.
Ia menegaskan, jalur hukum seharusnya bukan pilihan utama bagi pejabat yang merasa tersinggung oleh pemberitaan.
“Kalau ada sedikit ketersinggungan dan kesalahan, ia (Menteri Pertanian Amran) harus berlapang dada karena pejabat harus siap dengan segala hal termasuk hujatan bahkan kritikan. Meskipun secara hukum dapat dibenarkan, tetapi secara moral dapat diperdebatkan,” pungkas Saiful.
                                                    
                                                            
                        
                        
                                                
Tinggalkan Komentar
Komentar