periskop.id - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyoroti respons perbankan yang dinilai masih lambat dalam menurunkan suku bunga deposito dan kredit, meskipun bank sentral telah berulang kali memangkas suku bunga acuan. 

Menurutnya, transmisi kebijakan moneter yang tidak optimal ini menghambat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perry memaparkan, respons perbankan sangat timpang dibandingkan langkah bank sentral. BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin sejak September 2024, namun transmisi ke suku bunga kredit sangat minim. 

"Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat yaitu sebesar 7 basis point [sepanjang 2025]," kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (17/9).

Perry mengungkapkan, salah satu faktor utama yang menghambat penurunan suku bunga adalah praktik special rate (suku bunga khusus) untuk para deposan besar. 

Dana jumbo inilah yang membuat biaya dana bank (cost of fund) tetap tinggi dan menyulitkan bank menurunkan suku bunga kreditnya secara signifikan. 

"Jumlahnya adalah Rp2.380,4 triliun atau 25,4% dari DPK. Ini adalah posisi Agustus," tegasnya.

Selain dari sisi perbankan, penyaluran kredit juga belum kuat karena faktor permintaan. 

BI melihat banyak pelaku usaha masih bersikap menunggu (wait and see), yang tercermin dari besarnya dana pinjaman yang sudah disetujui namun belum ditarik (undisbursed loan) yang mencapai Rp2.372,1 triliun.

Oleh karena itu, BI memandang suku bunga perbankan perlu segera turun untuk dapat meningkatkan penyaluran kredit, sebagai bagian dari upaya bersama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.