periskop.id - Penurunan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) memberi angin segar bagi kebijakan moneter Indonesia. Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menilai langkah The Fed tersebut membuka ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mulai melonggarkan suku bunga acuannya secara bertahap.
Menurut Josua, peluang pelonggaran moneter terbuka berkat dua faktor eksternal utama, yakni turunnya suku bunga The Fed dan rencana penghentian runoff yang akan meredakan tekanan dolar dalam jangka menengah. Dari sisi domestik, inflasi yang tetap terkendali juga menjaga suku bunga riil tetap positif.
"Karena itu baseline yang kuat adalah penurunan yang gradual dan data-dependent," kata Josua kepada Periskop, Jumat (31/10).
Pihaknya memperkirakan BI Rate akan berada di level 4,50% pada akhir 2025, dicapai melalui serangkaian penurunan kecil untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nilai tukar. Ia menilai keputusan The Fed juga memberikan bantalan terhadap stabilitas pasar keuangan domestik hingga akhir tahun.
Penghentian runoff berpotensi menurunkan risiko keketatan likuiditas dolar global, sehingga operasi valas BI seperti DNDF dan intervensi spot dapat berjalan lebih efisien.
Di sisi portofolio, spread riil Indonesia yang tetap menarik mendukung arus masuk selektif pada SBN ketika ketidakpastian global mereda. Penguatan DXY sejak awal Oktober berjalan seiring naiknya yield UST 10 tahun, ketika salah satu melemah, ruang stabilisasi aset berisiko di emerging markets biasanya terbuka.
"Dengan kombinasi itu, stabilitas akhir tahun dapat dijaga selama disiplin fiskal konsisten dan manajemen arus modal dilakukan secara antisipatif," terang Josua.
Bagi pelaku usaha, katanya, turunnya suku bunga global menurunkan biaya dana berbasis USD secara bertahap, memperbaiki sentimen pendanaan utang valas dan refinancing 2026. Di perbankan domestik, penurunan BI Rate yang bertahap akan merembes ke suku bunga kredit dengan jeda, sehingga beban bunga perusahaan berangsur turun pada 2025.
Sisi ekspor lebih beragam, dolar yang sementara kuat dapat menekan harga komoditas berdenominasi USD, tetapi permintaan global cenderung terbantu jika suku bunga dunia memasuki fase lebih lunak.
"Bagi eksportir manufaktur, kepastian rantai pasok dan biaya hedging menjadi faktor penentu, bagi eksportir komoditas, manajemen harga jual dan kontrak forward penting untuk menstabilkan arus kas di tengah kemungkinan fluktuasi harga," papar Josua.
Lebih lanjut, normalisasi yield domestik dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil di kisaran Rp16.300–Rp16.600 per dolar AS pada akhir 2025, menurutnya, dapat menjadi dasar bagi perencanaan investasi dan belanja modal yang lebih pasti.
“Proyeksi kami atas normalisasi yield domestik dan rupiah yang relatif stabil di kisaran 16.300–16.600 pada akhir 2025 memberi dasar bagi perencanaan investasi dan belanja modal yang lebih pasti,” Josua mengakhiri.
Tinggalkan Komentar
Komentar