periskop.id - CEO Nvidia, Jensen Huang, menegaskan bahwa kecerdasan buatan (AI) bukanlah ancaman langsung bagi pekerjaan manusia. Menurutnya, yang justru berbahaya adalah orang-orang yang mampu memanfaatkan AI dengan lebih efektif dibanding rekan kerjanya.
“Anda tidak akan kehilangan pekerjaan karena AI. Anda akan kehilangan pekerjaan karena seseorang yang menggunakan AI,” ujarnya dikutip dari Techradar.
Pernyataan itu muncul di tengah persaingan ketat industri asisten AI. Google dengan Gemini, Apple dengan Siri yang diperbarui, Microsoft dengan Copilot, dan Amazon dengan Alexa generasi baru, semuanya berlomba menunjukkan dominasi. Situasi ini menandai awal dari “perang AI” di ranah konsumen, di mana setiap perusahaan berusaha menanamkan AI ke dalam kehidupan sehari-hari.
Huang menekankan bahwa AI seharusnya dipandang sebagai alat pemberdayaan, bukan pengganti manusia. Ia menilai pekerja yang mampu mengintegrasikan AI ke dalam rutinitas akan memiliki keunggulan kompetitif. “Mereka yang menguasai AI akan menjadi lebih produktif, lebih kreatif, dan lebih bernilai,” katanya.
Fenomena tersebut sejalan dengan laporan World Economic Forum (WEF) 2023 yang memperkirakan 83 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi hingga 2027, tetapi 69 juta pekerjaan baru akan tercipta. Artinya, transformasi ini lebih bersifat pergeseran keterampilan ketimbang pemusnahan total lapangan kerja. Dengan kata lain, pekerja yang mampu beradaptasi akan tetap relevan.
Nvidia sendiri berada di pusat revolusi AI. Perusahaan ini mendominasi pasar chip grafis yang menjadi tulang punggung pelatihan model AI. Kapitalisasi pasar Nvidia bahkan sempat melampaui US$3 triliun pada 2024, menegaskan posisinya sebagai salah satu perusahaan paling berpengaruh di era teknologi modern.
Risiko dari Minimnya Literasi Digital
Namun, peringatan Huang juga menyiratkan tantangan besar. Tidak semua pekerja memiliki akses atau keterampilan untuk memanfaatkan AI. Laporan OECD 2024 menunjukkan bahwa 60% pekerja di negara berkembang berisiko tertinggal karena keterbatasan literasi digital. Hal ini menimbulkan kesenjangan baru antara mereka yang siap dengan AI dan yang tidak.
Di sisi lain, perusahaan mulai menuntut karyawan untuk beradaptasi. Survei McKinsey 2024 menemukan bahwa 40% perusahaan global telah memasukkan penggunaan AI generatif dalam strategi bisnis mereka. Sektor yang paling terdampak adalah pemasaran, layanan pelanggan, keuangan, dan teknologi informasi, di mana efisiensi dan kreativitas menjadi nilai utama.
Huang menilai momen ini sebagai peluang emas.
“AI adalah komputer paling luar biasa yang pernah kita ciptakan. Ia bisa menulis, berbicara, menggambar, bahkan merancang. Jika Anda tidak menggunakannya, orang lain akan melakukannya,” tegasnya.
Dengan kata lain, AI adalah katalis perubahan yang tidak bisa dihindari.
Dengan demikian, pernyataan Huang bukan sekadar peringatan, melainkan dorongan agar pekerja dan perusahaan segera berinvestasi dalam keterampilan baru.
AI bukan musuh, melainkan senjata strategis. Mereka yang cepat beradaptasi akan memimpin, sementara yang lambat akan tertinggal dalam arus besar transformasi digital.
Tinggalkan Komentar
Komentar