periskop.id - Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin di Jakarta melemah 7 poin atau 0,04 persen menjadi Rp16.638 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.631 per dolar AS. Pelemahan ini menandai awal pekan yang kurang menggembirakan bagi mata uang Garuda di tengah tekanan eksternal yang masih kuat.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, mengatakan pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah disebabkan oleh pernyataan bernada hawkish dari sejumlah pejabat Federal Reserve (The Fed) yang memperkuat posisi dolar AS di pasar global. Menurutnya, komentar-komentar tersebut kembali memunculkan kekhawatiran bahwa suku bunga acuan AS akan bertahan tinggi lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
"Rupiah melemah terhadap dolar AS yang kembali menguat oleh dukungan pernyataan hawkish dari pejabat-pejabat The Fed, yaitu Schmid (Presiden The Fed Kansas City Jeff Schmid), Logan (Presiden Federal Reserve Bank Dallas Lorie Logan), dan Hammack (Presiden Fed Cleveland Beth Hammack)," kata Lukman, mengutip ANTARA, Senin (3/11).
Schmid dalam pernyataannya menilai bahwa sektor pekerjaan di AS masih cukup stabil, sementara inflasi belum menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Pandangan ini memperkuat dugaan bahwa The Fed belum akan terburu-buru melonggarkan kebijakan moneternya.
Sementara itu, Logan menekankan bahwa pemangkasan suku bunga belum diperlukan selama inflasi belum turun ke level yang dianggap aman. Ia menegaskan bahwa langkah prematur menurunkan suku bunga justru bisa mengancam pencapaian target inflasi jangka menengah The Fed.
Adapun Hammack menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, tingkat suku bunga tinggi masih dibutuhkan untuk menekan inflasi agar kembali ke sasaran 2 persen. Namun, berbeda dengan ketiganya, Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic justru menyatakan dukungannya terhadap penurunan suku bunga, dengan menekankan bahwa kebijakan moneter AS masih bersifat restriktif bahkan jika penurunan dilakukan.
Dari dalam negeri, inflasi Indonesia diperkirakan sedikit meningkat ke level 2,7 persen, namun masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI). Kondisi ini membuka peluang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuan dalam beberapa waktu mendatang, terutama jika tekanan dari sisi eksternal dapat diredam.
"September diperkirakan surplus 4,79 miliar dolar AS," ujar Lukman.
Ia menambahkan bahwa surplus neraca perdagangan tersebut dapat menjadi penopang bagi stabilitas rupiah ke depan, meskipun dalam jangka pendek mata uang domestik masih berpotensi menghadapi tekanan akibat faktor global.
Tinggalkan Komentar
Komentar