Periskop.id - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengklaim, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama sembilan bulan sejak Januari 2025, telah menyerap hingga 600 ribu tenaga kerja di seluruh Indonesia.
"Sudah sekitar 600 ribu orang bekerja di dalam MBG, ini belum dihitung dengan petaninya," kata Dadan di Jakarta, Kamis (18/9).
Untuk tiap-tiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), Dadan menyebutkan sudah ada 300 ribu pekerja yang melayani Program MBG hingga September 2025.
"Itu belum yang di supplier (pemasok) karena satu SPPG membutuhkan minimal 15 supplier, dan satu supplier biasanya memperkerjakan antara lima sampai 15 orang, jadi kalau dihitung dengan supplier ya sekitar 600 ribu orang tadi sudah bekerja untuk MBG," ujarnya.
Dadan mengemukakan, organisasi yang bekerja untuk melayani MBG semakin lama semakin berkembang. Untuk tahun 2025 saja, Presiden Prabowo Subianto menargetkan harus ada 82,9 juta penerima manfaat MBG, sehingga tidak heran jika BGN memiliki alokasi anggaran terbesar dari seluruh kementerian/lembaga di Indonesia.
"Jadi ini memang organisasi yang semakin lama, semakin besar, dan Anda harus tahu bahwa anggarannya juga terbesar, jadi wajar kalau kebutuhan organisasinya meningkat dan harus ada orang yang lebih fokus pada hal-hal itu," tuturnya.
Ia menjelaskan, alokasi anggaran tambahan sebesar Rp268 triliun untuk 2026 akan diprioritaskan untuk program pemenuhan gizi nasional.
"Anggaran sebesar Rp268 triliun pada tahun 2026 dengan stand by Rp67 triliun karena totalnya Rp335 triliun. Sekitar 96% untuk program pemenuhan gizi nasional dan 4% untuk dukungan manajemen," imbuhnya.
Melalui MBG, lanjut Dadan, ada potensi ekonomi yang luar biasa di daerah untuk dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih, Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), hingga UMKM dan para petani. Untuk itu, ia meminta para pemuda agar kembali ke desa untuk mengoptimalkan potensi tersebut.
"Jadi, kami harapkan sebetulnya dengan adanya program ini, para pemuda kembalilah ke desa, optimalkan daerah-daerah itu, optimalkan tanah-tanah yang menganggur tetapi cukup subur untuk diproduksi," ujarnya.
8.018 SPPG
Asal tahu saja, BGN menyatakan, saat ini terdapat 8.018 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk melayani Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah beroperasi di seluruh Indonesia, dengan anggaran terserap sebesar Rp15,7 triliun.
"Hari ini tercatat ada 8.018 SPPG yang sudah beroperasi. Ini bertambah kurang lebih 565 dibandingkan tanggal 8 September minggu lalu, dan sudah mencakup 38 provinsi di 509 kabupaten, serta 7.022 kecamatan," kata Dadan.
Menurutnya, SPPG menjadi instrumen penting penyerapan anggaran, karena setiap SPPG dapat menyerap anggaran sekitar Rp900 juta hingga Rp1 miliar per bulan.
"Perlu diketahui, SPPG ini boleh dikatakan sebagai mesin penyerapan anggaran, jadi mengapa SPPG ini penting sekali? Karena jika diperhatikan, penyerapan anggaran pada tanggal 8 September baru Rp13,2 triliun, sekarang Rp 15,7 triliun," paparnya.
Dadan melanjutkan saat ini terdapat 12.897 SPPG berstatus potensi akan beroperasi dan 9.632 SPPG dalam proses verifikasi pengajuan. Jumlah tersebut meningkat setelah adanya kebijakan follow back atau reset, dimana sekitar 5.000 SPPG yang sebelumnya berstatus persiapan dikembalikan ke tahap pengajuan.
"Kami sedang sinkronisasi data sehingga totalnya setelah selesai akan dibuka kembali tanggal 20 September. Jadi tinggal lima hari lagi kami sedang sinkronisasi data, mana mitra-mitra yang serius bekerja atau mana mitra-mitra yang hanya memesan titik. Jadi ini akan disampaikan kembali nanti pada tanggal 20 September yang ada di setiap kecamatan di seluruh Indonesia," tuturnya.
Namun demikian Dadan mengakui masih ada lima kabupaten yang belum terjamah Program MBG karena kondisi geografis yang cukup sulit. Di antaranya, di Pegunungan Arfak di Papua Barat, kemudian Sumba Tengah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Maibarat dan Tamraw di Papua Barat Daya, serta Mahakam Ulu di Kalimantan Timur.
SPPG Bermasalah
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago meminta Badan Gizi Nasional (BGN) segera menertibkan SPPG bermasalah, menyusul dugaan praktik penyalahgunaan di berbagai daerah.
Irma dalam Rapat Kerja Komisi IX bersama BGN yang dipantau di Jakarta, Senin, menyebut sejumlah oknum diduga memanfaatkan celah dengan mendaftarkan yayasan tanpa memiliki dapur, sehingga berpotensi menjadi modus jual-beli dapur.
"Saya sampaikan terkait dengan ketersediaan dapur di seluruh kabupaten, kota, provinsi, jangan sampai seperti kemarin, mohon ditertibkan. Yang mendaftarkan diri untuk punya SPPG sebaiknya melampirkan juga gambar foto dapur. Jadi, jangan hanya sekedar melampirkan yayasan, karena ini modus," bebernya.
Ia mencontohkan, di salah satu daerah yang berada di Sumatera Selatan, seharusnya terdapat 38 dapur SPPG, namun kenyataannya, hanya dua dapur yang benar-benar tersedia.
"Begitu masyarakat mau join (bergabung), mau mendaftar, terpental terus, katanya sudah penuh, sementara dapurnya belum ada, yang seperti ini tolong ditertibkan karena ini menurut saya modus untuk jual beli dapur," ujarnya.
Selain ketiadaan dapur, Irma juga mengkritik standar operasional sejumlah SPPG yang dinilai belum sesuai. Ia menemukan masih banyak dapur yang tidak memenuhi standar menu dan kualitas makanan sebagaimana diatur Badan Gizi Nasional (BGN).
"Kalau sampai dua-tiga kali tidak disiplin dengan menu atau standar yang sudah disampaikan BGN, saya kira juga harus diberi sanksi, enggak boleh didiamkan karena ini merusak nama BGN, merusak nama pemerintah," ucapnya.
Oleh karena itu, ia juga menekankan perlunya mekanisme penggantian makanan bermasalah. "Kalau memang basi, seharusnya ditarik dan diganti, enggak boleh cukup ditarik tapi enggak melakukan penggantian," ucap Irma.
Menurutnya, pengelola dapur juga harus ikut bertanggung jawab, jika terjadi keracunan makanan yang menimpa anak-anak dengan memberikan santunan dan tidak hanya membebankan ke BPJS Kesehatan.
Ia berharap, BGN lebih memperketat verifikasi, tertib administrasi, hingga penerapan sanksi tegas. Baginya, langkah ini penting untuk menutup peluang penyalahgunaan sekaligus meningkatkan kualitas layanan pangan dan gizi bagi masyarakat.
"Saya kira ini juga harus menjadi masukan kepada BGN, agar tertib administrasi, sanksi, dan kualitas BGN semakin lama semakin baik," pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar