periskop.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto resmi berjalan pada Januari 2025 dengan misi mulia: meningkatkan gizi anak sekolah di seluruh Indonesia. 

Badan Gizi Nasional (BGN) pun mendadak punya program spesifik dengan pekerjaan-pekerjaan yang jelas. Mereka mencatat, hingga pertengahan September 2025, sudah ada 8.018 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) beroperasi di 38 provinsi, 509 kabupaten, dan 7.022 kecamatan.

Anggaaran yang terserap mencapai Rp15,7 triliun. Setiap SPPG mampu menyerap dana sekitar Rp900 juta hingga Rp1 miliar per bulan, menjadikannya salah satu program sosial dengan skala logistik terbesar di Tanah Air.

Namun, di balik mimpi  besar itu, sederet kasus keracunan massal justru memaksa MBG harus berjuang di level paling dasar, kelayakan konsumsi. 

BPOM mencatat sedikitnya ada 17 insiden luar biasa di 10 provinsi terkait keracunan MBG sejak awal program dijalankan. 

Mengutip ragam sumber, data lapangan menunjukkan, hingga pertengahan September 2025, lebih dari 5.000 siswa dari SD hingga SMA mengalami gejala mual, muntah, diare, hingga harus dirawat di fasilitas kesehatan. Kasus terbesar terjadi di Lebong, Bengkulu, dengan 446 korban, disusul Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, dengan 251 korban.

Penyebabnya bervariasi, dari kontaminasi bakteri Bacillus cereus pada telur, jamur pada buah, hingga dugaan bahan baku ikan yang tidak layak konsumsi.

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Sri Raharjo, menilai rangkaian insiden ini sebagai “kegagalan sistemik”. Menurutnya, masalah bukan hanya pada satu titik, melainkan pada seluruh rantai proses: penyiapan, pengolahan, hingga distribusi makanan. 

“Kasus ini memperlihatkan adanya kegagalan dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan,” ujarnya. 

Ia menekankan perlunya audit menyeluruh, sertifikasi dapur, dan pengawasan independen yang ketat sebelum program diperluas.

Senada, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menegaskan pentingnya akreditasi dan verifikasi SPPG oleh lembaga independen di luar BGN. 

Ia mengingatkan bahwa banyak dapur MBG dibangun oleh yayasan dengan modal terbatas, sehingga rawan tidak memenuhi standar higienitas. 

“Keselamatan penerima manfaat MBG jauh lebih penting daripada sekadar mengejar target pembangunan dapur atau angka serapan anggaran,” tegasnya.

Program dengan potensi realisasi anggaran di 2025 hingga Rp240 triliun ini membutuhkan pengelolaan yang benar-benar serius, di mana jika masih bekutat di level keracunan, MBG berpotensi hanya menjadi penggerus ruang fiskal untuk sektor lain. 

Ke depan, prospek MBG akan sangat ditentukan oleh keberanian pemerintah memperlambat ekspansi kuantitas demi memastikan kualitas dan keamanan pangan yang benar-benar terjaga.

Berikut ini tabel catatan kasus keracunan MBG yang dilaporkan hingga hari ini:

Tanggal KejadianLokasiJumlah KorbanKeterangan / Menu
13 Jan 2025Nunukan Selatan, Kalimantan Utara59 siswaMual & diare usai konsumsi MBG
16 Jan 2025Sukoharjo, Jawa Tengah50 siswaAyam MBG, gejala mual & muntah
18 Feb 2025Empat Lawang, Sumatera Selatan8 siswaIkan MBG
21 Apr 2025Cianjur, Jawa Barat165 siswaNasi, mi goreng, ayam suwir, tempe mendoan, semangka
24 Apr 2025Bombana, Sulawesi Tenggara13 siswaAyam tepung diduga basi
18 Apr 2025Batang, Jawa Tengah60 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
27–28 Agu 2025Lebong, Bengkulu446 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
4 Sep 2025Cianjur, Jawa Barat9 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
10 Sep 2025Klaten, Jawa Tengah105 siswaMenu MBG dimasak setengah matang
11 Sep 2025Wonogiri, Jawa Tengah110 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
16 Sep 2025Baubau, Sulawesi Tenggara37 siswaAyam MBG berbau tidak sedap
17 Sep 2025Lamongan, Jawa Timur±13 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
17 Sep 2025Kadungora, Garut, Jawa Barat150 siswaNasi putih, ayam woku, tempe orek, lalapan, stroberi
17 Sep 2025Pakenjeng, Garut, Jawa Barat115 orangAcara hajatan (tidak semua terkait MBG)
15 Sep 2025Gunungkidul, Yogyakarta19 siswaMenu MBG (tidak dirinci)
16–17 Sep 2025Sumbawa, NTB127 siswaMenu MBG (tidak dirinci)