periskop.id - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, kembali menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Usulan ini mencuat setelah sejumlah pihak mengajukan nama Soeharto ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Kementerian Sosial.
Pihak yang Mendukung
Dukungan terhadap usulan ini datang dari Partai Golkar, partai politik yang pernah menjadi 'kendaraan utama' Soeharto selama masa Orde Baru. Ketua DPP Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menyebut bahwa partainya akan mendukung setiap upaya untuk menghargai jasa tokoh yang dinilai berkontribusi besar bagi bangsa.
“Golkar siap mendukung usulan tersebut selama prosesnya sesuai dengan aturan dan kajian sejarah yang berlaku,” ujar Hetifah (22/4).
Dukungan juga datang dari keluarga Soeharto. Putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, menyambut baik rencana tersebut. Ia menilai bahwa ayahnya telah banyak berjasa dalam membangun fondasi ekonomi nasional.
“Alhamdulillah, kalau memang beliau dianggap berjasa dan pantas mendapat gelar itu. Semoga niat baik ini membawa manfaat bagi bangsa,” ucap Titiek.
Melansir dari Antara, Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menilai Soeharto merupakan sosok berpengaruh dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu, ia menyebut bahwa jasa dan pengabdian Soeharto selama masa perjuangan kemerdekaan hingga kepemimpinannya sebagai presiden patut diapresiasi dengan penghargaan negara.
“Kami memandang Bapak Soeharto layak memperoleh gelar pahlawan nasional karena perannya yang besar bagi Indonesia, baik ketika berjuang di masa revolusi maupun saat memimpin pembangunan nasional,” ujar Dadang.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD juga berpendapat bahwa secara yuridis, Soeharto memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional. Ia menilai keputusan akhir tetap berada di tangan presiden setelah melalui kajian mendalam dari Dewan Gelar.
Pihak yang Menolak
Namun, tak sedikit pihak yang menentang keras wacana tersebut. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan karena memiliki catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, korupsi, dan praktik represif selama masa pemerintahannya.
“Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja mengabaikan penderitaan korban pelanggaran HAM dan semangat reformasi 1998,” tulis KontraS dalam siaran persnya.
Sikap serupa juga disampaikan oleh Amnesty International Indonesia yang menyebut usulan tersebut sebagai “pengkhianatan terhadap semangat reformasi”.
Sementara itu, aktivis gerakan Reformasi 1998 menilai bahwa pemberian gelar itu dapat mencederai makna perjuangan rakyat menumbangkan rezim otoriter.
“Bagaimana mungkin seseorang yang tumbang karena tuntutan reformasi justru diangkat menjadi pahlawan nasional?” Ujar salah satu aktivis ’98 dalam sebuah diskusi publik.
Koalisi masyarakat sipil GEMAS (Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto) bahkan telah mengirimkan surat resmi ke Kementerian Sosial menolak usulan tersebut. Mereka menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu terlebih dahulu, bukan memberikan penghargaan kepada pelakunya.
Kajian Dewan Gelar Masih Berlangsung
Hingga kini, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan masih melakukan kajian mendalam atas berbagai usulan, termasuk nama Soeharto.
Ketua Dewan, Fadli Zon, mengungkapkan bahwa Soeharto sudah beberapa kali diusulkan, tetapi keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan Presiden.
Ketua DPR RI Puan Maharani juga menegaskan agar pemerintah berhati-hati dalam mempertimbangkan usulan tersebut.
“Setiap tokoh memiliki jasa, tapi kita harus menilai secara menyeluruh, termasuk rekam jejaknya di masa lalu,” ujar Puan (28/5).
Selain Soeharto, sejumlah tokoh lain yang diusulkan, antara lain Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, Jenderal (Purn) M. Jusuf, Ali Sadikin, KH Bisri Syansuri, Syaikhona Kholil Bangkalan, dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja.
Tinggalkan Komentar
Komentar