periskop.id - Dalam dunia politik, jadi bahan pembicaraan belum tentu pertanda masalah. Kadang justru sebaliknya, bisa jadi pertanda sedang disukai publik.

Nah, hal inilah yang lagi dialami Purbaya, Menteri Ekonomi yang belakangan ini makin sering jadi topik hangat, baik di ruang rapat DPR maupun di dunia maya.

Uniknya, meski beberapa politikus melempar kritik, survei justru menunjukkan kalau publik suka banget sama Purbaya!

Dihujani Kritik Elite, Tapi Dipuji Netizen

Beberapa waktu lalu, Mukhamad Misbakhun, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang juga Ketua Komisi XI sempat memberikan ‘peringatan halus’ buat Purbaya.
Menurutnya, sang menteri sebaiknya fokus ke desain besar ekonomi nasional, bukan sering menyinggung urusan kementerian lain.

Nada serupa datang dari Hasan Nasbi, mantan Kepala Komunikasi Kepresidenan. Ia menilai gaya komunikasi Purbaya yang terlalu terbuka bisa bikin ‘solidaritas antar kementerian’ agak terguncang.

Tapi, publik punya pandangan berbeda.
Menurut survei Indonesia Social Insight (IDSIGHT) pada 24 September–3 Oktober 2025, 83,7% sentimen terhadap Purbaya di media sosial positif!
Data ini diambil dari analisis komentar di Instagram, X (Twitter), Facebook, dan TikTok.

Sementara itu, riset Index Politica juga mencatat bahwa Purbaya adalah menteri paling dikenal publik dalam Kabinet Merah Putih, dengan tingkat “top of mind” mencapai 10,35%.
Survei ini dilakukan pada 1–10 Oktober 2025 terhadap 1.600 responden dengan margin of error ±3%.

Dikritik elite, tapi malah makin dicintai publik, kok bisa?!

Fenomena “Elite–Public Gap”

Untuk menjelaskan ini, ada teori klasik dari Kertzer dkk. berjudul Re-Assessing Elite-Public Gaps in Political Behavior.
Teori ini bilang bahwa perbedaan cara pandang antara elite politik dan masyarakat itu hal biasa.

Elite menilai dari strategi dan kepentingan kekuasaan, sementara publik melihat dari hasil nyata dan kepribadian tokohnya.

Jadi, kalau elite menilai Purbaya terlalu vokal, publik justru melihatnya sebagai pemimpin jujur, transparan, dan apa adanya.

Pertemuan Dua Dunia: Teknokrat vs Politis

Fenomena ini juga bisa dijelaskan lewat teori teknokrasi vs populisme dari Daniele Caramani (Will vs Reason, 2017).

Teknokrat fokus pada akal dan hasil, sedangkan politisi populis lebih mengandalkan emosi dan simbol.

Nah, Purbaya Menteri Ekonomi termasuk tipe teknokrat sejati yang berbicara berdasarkan logika dan data.
Gaya komunikasinya yang to the point mungkin terasa ‘tidak sopan’ di dunia politik, tapi bagi rakyat, justru itulah bukti ketulusan dan keberanian.

Media Sosial: Senjata Rahasia Popularitas

Jangan lupakan peran media sosial.
Penelitian agenda-setting menunjukkan bahwa media sosial kini menjadi ruang utama pembentukan opini publik.

Analisis IDSIGHT di empat platform besar, Instagram, X (Twitter), Facebook, dan TikTok memperlihatkan bagaimana interaksi positif publik membentuk gelombang dukungan besar untuk Purbaya.

Setiap potongan video atau kutipan jujur darinya cepat viral, memperkuat citra ‘menteri yang blak-blakan tapi kompeten.’

Branding yang Mengena: Lugas, Jujur, dan Apa Adanya

Dalam komunikasi politik, efek ini dikenal sebagai political branding  pembentukan citra lewat gaya bicara, ekspresi, dan konsistensi pesan.
Publik lebih mudah percaya pada sosok yang tampil autentik dan konsisten, bukan yang kaku dan penuh jargon.

Purbaya memanfaatkan hal ini dengan baik. Ia tampil sederhana, tidak berjarak, dan nggak neko-neko.

Tak heran kalau masyarakat merasa dekat dengannya, bahkan saat sebagian elite justru mengernyitkan dahi.

Kritik dari politikus dan pengamat tentu hal biasa dalam demokrasi.
Tapi kisah Purbaya menunjukkan bahwa popularitas di era digital punya rumus baru 

bukan lagi soal pencitraan, melainkan soal transparansi dan gaya komunikasi yang manusiawi.